Minggu, 25 November 2007

Keharusan Hukum untuk Mati

Agung Putri, Direktur Eksekutif Elsam

Benarkah kita ini menyimpan kultur dendam yang tinggi? Sulit dipercaya, begitu banyak fakta memperlihatkan betapa pemaafnya bangsa ini. Sikap mendukung hukuman mati tampaknya bukan berasal dari warisan budaya, melainkan kuatnya keyakinan bahwa itulah cara paling efektif untuk membuat orang jera.

Setidaknya itulah argumen yang melandasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatakan bahwa sanksi pidana hukuman mati pada Undang-Undang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28A dan I. Keputusan tersebut bukanlah suatu pandangan yang kontroversial. Di hampir semua negara yang masih memberlakukan hukuman mati selalu dinyatakan bahwa hukuman mati sesuai dengan asas keadilan negara itu dan diberlakukan secara terbatas.

Opini berbeda tiga hakim MK sebaliknya menyatakan bahwa sanksi hukuman mati tidak memiliki efek jera dan bahwa hak hidup tidak dapat dibatasi dan bersifat mutlak. Ini pun argumen utama pihak yang menuntut hapusnya hukuman mati. Amnesti Internasional, organisasi yang menentang hukuman mati memperkaya argumen ini dengan mengatakan bahwa begitu banyak fakta ditemukan bahwa hukuman mati dijatuhkan kepada orang yang tidak bersalah. Hukuman mati tidak bisa dikoreksi.

Perdebatan panjang
Ketukan palu hakim ketua MK telah menghentikan pro-kontra hukuman mati. Namun, sebenarnya keputusan ini belum mengatasi perdebatan panjang tentang perlu-tidaknya hukuman mati. Ini karena sebenarnya kedua pandangan tersebut bertolak dari asas dan konsepsi yang sama. Jika hukuman mati ditentang karena dipandang tidak efektif dan tidak memiliki efek jera, pihak yang mendukung hukuman mati mengatakan sebaliknya. Kedua pihak sama menggunakan asas utilitarian dan deontologis. Asas utilitarian muncul dalam argumen memberi atau tidak memberi efek jera. Asas deontologis muncul dalam argumen hukuman mati sebagai penodaan atau pemuliaan kehidupan.

Sebenarnya ada satu hal penting yang hilang dari perdebatan tentang perlu-tidaknya hukuman mati, yaitu kenyataan bahwa negara telah menggunakan otoritasnya untuk membunuh dalam berbagai cara. Hukuman mati hanya salah satu di antaranya.

Dalam praktik, setidaknya ada tiga jenis tindakan pembunuhan oleh negara yang mengemuka sampai saat ini : (a) hukuman mati berdasarkan due process of law. Pengadilan perkara narkoba, sekalipun masih perlu ditinjau lebih jauh, boleh digolongkan sebagai pengadilan dengan sanksi hukuman mati yang due process of law. b) hukuman tidak berdasarkan due process of law. Ini telah terjadi pada pengadilan-pengadilan politik seperti yang dialami oleh terdakwa kasus pembajakan pesawat Woyla, terdakwa peristiwa G30S. Khusus yang terakhir bahkan mahkamah militer luar biasa tidak memiliki prosedur banding.

Selain dua jenis proses penghukuman ini, aparatus negara juga menghukum tanpa melalui pengadilan, disebut extra-judicial killings. Ini dilakukan oleh aparat keamanan polisi dan militer dan bukan berdasarkan keputusan pengadilan atau perintah kejaksaan agung. Ini paling banyak memakan korban, terutama di daerah konflik, seperti Aceh dan Papua, tetapi juga terhadap aktivis politik, seperti Marsinah ataupun Munir. Tiga jenis eksekusi ini dapat berlangsung bersamaan, dalam keadaan damai ataupun dalam suatu operasi militer.

Dijatuhkannya sanksi hukuman mati pada seorang terdakwa mencitrakan penegakan hukum. Namun, pada saat yang sama ini menutupi praktik terus berlangsungnya pembunuhan di luar proses pengadilan. Jadi sanksi hukuman mati dalam praktiknya hanya menjadi bagian dari pelembagaan pembunuhan oleh negara daripada pelaksanaan misi suci memberi efek jera.

Tumpang tindih
Praktik tumpang tindih berbagai jenis eksekusi telah lama menjadi kekhawatiran masyarakat internasional. Ketika Dewan Ekonomi Sosial Budaya PBB menunjuk pelapor khusus untuk pembunuhan secara kilat di luar pengadilan, dewan juga memperluas mandat pelapor khusus ini untuk juga menyoroti soal sanksi hukuman mati.

Lebih jauh PBB mengimbau negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati melakukan langkah mengurangi ruang lingkup kejahatan yang dikenai hukuman mati menuju penghapusan hukuman mati menyeluruh. Pada sidang ke-62 bulan Oktober 2007 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi menyerukan moratorium global terhadap hukuman mati.

Di Indonesia implikasi terbesar dari praktik tumpang tindih ini adalah terancamnya kemandirian badan peradilan. Di balik prosedur peradilan yang formal dan terbuka berlangsung praktik persidangan tanpa asas fairness dan independency. Sementara itu, jumlah kejahatan yang dikenai sanksi pidana mati semakin banyak. Sanksi itu dikenakan tidak hanya kepada pelaku pembunuhan dan perbuatan makar, tetapi juga mengancam pelaku pelanggaran HAM berat, peredaran narkoba, dan juga untuk perkara korupsi dan terorisme. Setidaknya 11 buah perundangan kita memberlakukan hukuman mati.

Dengan kenyataan ini, mau tak mau harus dikatakan bahwa sanksi pidana mati di negeri ini bukanlah the last remedy atau tindakan pengecualian. Ini jelas menentang prasyarat yang digariskan oleh konvensi internasional hak sipil politik berikut protokol opsionalnya. Atau dengan kata lain, masih memberlakukan hukuman mati berarti percaya bahwa sistem politik kita masih harus ditopang oleh praktik pembunuhan. Lantas di titik mana toleransi kita akan hukuman mati itu berhenti?

Hukuman mati bukan instrumen sistem demokrasi, melainkan instrumenkekuasaan.


Tidak ada komentar: