Kamis, 29 Juli 2010

Mengakhiri Teror 'Bom' Gas Elpiji

Pemerintah sejak tahun 2007 lalu gencar melakukan konversi (peralihan) penggunaan minyak tanah ke gas LPG (baca elpiji). Alasan utama dibalik kebijakan konversi minyak tanah itu konon untuk penghematan subsidi BBM. Pemerintah melalui pertamina sampai akhir Juni lalu sudah mendistribusikan sekurangnya 44,6 juta tabung gas ukuran 3 kg dari target sekurangnya 55 juta pada tahun 2011.

Sayang, program konversi ini banyak menemui masalah. Yang paling menonjol adalah terjadinya banyak kasus ledakan. Sejak tabung elpiji 3 kg dibagikan secara gratis oleh Pemerintah tahun 2007, kasus ledakan tabung 'melon' (sebutan populer untuk tabung gas 3 kg) ternyata cukup tinggi. Selama tahun 2008 terjadi 61 kasus, tahun 2009 terjadi 51 kasus dan pada tahun ini (hingga bulan Mei saja) sudah terjadi 33 kasus tabung gas elpiji meledak. Total berarti telah terjadi lebih dari 150 kasus ledakan dengan puluhan korban tewas dan lebih banyak lagi korban luka, termasuk anak-anak.

Terakhir, hanya dalam kurun 8 hari (19-26 Juli) telah terjadi 8 kali kasus ledakan tabung gas elpiji 3 kg di berbagai daerah. Artinya, ledakan gas elpiji terjadi setiap hari. Khusus wilayah Jabodetabek, menurut data Kepolisian Daerah Metro Jaya, selama April-Juli 2010 terjadi lebih dari 15 kali ledakan tabung gas elpiji 3 kg. Korban meninggal mencapai 9 orang dan puluhan orang lainnya luka (Kompas, 27/07/2010).

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab ledakan itu adalah kualitas tabung yang buruk, terutama katupnya, sehingga bisa bocor, juga kualitas regulator dan selang yang tidak memenuhi SNI. Penanganan tabung saat distribusi juga sering buruk seperti dengan cara dilempar-lempar.

Begitu seringnya terjadi ledakan gas elpiji tak ayal membuat para pengguna tabung gas ukuran 3 kg selalu merasa terancam. Tabung gas elpiji 3 kg seakan sudah menjelma jadi ancaman "bom" yang kapan saja bisa meledak, dan celakanya ada di dapur rumah kita. Tidak salah kiranya jika saat ini masyarakat sedang dihadapkan dengan teror "bom" gas elpiji.

Pemerintah Lamban
Meski sudah banyak korban ledakan, respon Pemerintah terbilang amat lamban. Langkah Pemerintah baru terlihat dengan dibentuknya Tim Nasional setelah rapat koordinasi di Kantor Wapres, 29 Juni lalu. Namun, langkah nyata belum terlihat, kecuali Pemerintah telah menyiapkan regulator dan selang berstandar SNI sebanyak 10 juta paket, dan masyarakat bisa menukarkan yang lama dengan membayar sekitar Rp 35 ribu. Terakhir dikatakan tabung gas 3 kg akan ditarik.

Sikap lamban seperti itu jelas menyalahi tuntunan seperti yang telah ditunjukan oleh ajaran agama (Islam). Karena dalam Islam terdapat tuntunan dengan jelas bahwa Pemerintah berkewajiban senantiasa mengurusi rakyatnya, sebagaimana telah disabdakan oleh Rasul SAW: "Seorang pemimpin (penguasa) adalah pengatur dan pemelihara urusan masyarakat dan dia bertanggung jawab atas urusan mereka." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Rasul SAW juga memperingatkan: "Siapa saja yang diserahi oleh Allah menangani urusan rakyat, lalu ia mengabaikan kebutuhan, kesusahan dan kemiskinan mereka maka Allah akan mengabaikan kebutuhan, kesusahan, dan kemiskinan mereka (pada Hari Akhir kelak)." (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Mengakhiri Teror "Bom" Gas Elpiji
Untuk mengakhiri teror 'bom' gas elpiji, ada beberapa langkah yang harus dilakukan segera. Pertama: semua tabung, regulator dan selang harus dipastikan dan dijamin berkualitas baik. Di lapangan, struktur dan aparatur pemerintah lintas departemen, termasuk Pertamina, bisa melakukan pengecekan hingga tingkat RT dan RW serta komunitas. Perangkat yang standar diberi tanda dan yang tidak memenuhi standar atau rusak diganti. Dananya diambil dari APBN. Tentu hal itu bisa dilakukan. Jika untuk menalangi Bank Century sebesar 6,7 triliun, dan sebelumnya BLBI hingga ratusan triliun saja Pemerintah bisa dan harus bisa, maka tentu saja untuk melaksanakan hal ini juga bisa dan harus bisa. Jika perusahaan otomotif saja bisa melakukan puluhan bahkan ratusan ribu mobil untuk dicek dan diperbaiki, masa Pemerintah dengan segala potensi, kemampuan, dan strukturnya kalah dengan perusahaan otomotif?

Kedua, harus ada pengawasan yang ketat dan berjenjang dari Pemerintah. Pengawasan dilakukan sejak pabrik hingga ke pengecer. Tabung harus dipastikan berkualitas baik dan tidak bocor, terutama pada bagian katup, dan ini bisa dilakukan di stasiun pengisian tabung. Pemerintah juga harus memastikan bahwa distributor hingga pengecer tersebut menjaga kualitas. Harus dijamin mereka memperlakukan tabung dengan baik, dan untuk itu perlu dilakukan pelatihan hingga tingkat pengecer. Artinya, harus ada pengawasan berjenjang dari Pemerintah hingga sampai ke konsumen, supaya Pemerintah tahu siapa yang jadi pihak ketiganya itu.

Ketiga, di tingkat konsumen harus dilakukan penyuluhan massal kepada masyarakat untuk pemakaian gas yang aman. Hal itu dilakukan dari rumah ke rumah dengan memanfaatkan struktur RT dan RW dan komunitas. Penyuluhan tidak cukup hanya menggunakan sarana komunikasi massa, karena kalau hanya lewat televisi misalnya, itu hanya satu arah; tidak ada dialog dan tidak bisa dipastikan konsumen paham.

Ke empat, Pemerintah harus mengusut dan menghukum dengan keras dan tegas siapa saja yang melakukan kecurangan, menyuntik gas, memalsukan selang dan lainnya yang sering disebut sebagai pihak ketiga penyebab ledakan.

Kelima, segera menyantuni seluruh korban atau mereka yang terkena musibah akibat ledakan tabung gas itu.

Minimal, kelima hal itulah yang harus dilakukan Pemerintah untuk mengakhiri teror ledakan tabung gas.

Solusi Mendasar
Jauh lebih mendasar dari penyebab semua itu, banyaknya kasus ledakan 'bom' gas elpiji adalah dampak dari adanya kebijakan konversi (pengalihan) penggunaan minyak tanah ke elpiji. Masyarakat dipaksa untuk menerima kebijakan Pemerintah ini dan tidak diberi pilihan energi lain. Kebijakan Pemerintah itu muncul tentu saja karena politik energi dan pengelolaan kekayaan umum yang salah mengikuti sistem Kapitalisme.

Sistem Kapitalisme apalagi dengan mazhab neoliberal menghendaki agar subsidi dalam segala bentuknya dihapuskan. Artinya, sangat mungkin ke depan, ketika Pemerintah memutuskan menghapus subsidi BBM termasuk gas tiga kiloan maka rakyat dipaksa membeli sesuai harga keekonomian. Harga keekonomian gas elpiji saat ini sekitar Rp. 7.680,- belum ditambah margin keuntungan badan usaha. Artinya, harga keekonomian gas 3 kg ditingkat pengecer nanti bisa mencapai Rp. 25 ribu per tabung. Pada saat itu nanti, besar kemungkinan akan timbul masalah lagi di tengah masyarakat.

Masalah ini semua berawal dari kesalahan politik energi. Pertama, masyarakat dipaksa mengkonsumsi jenis energi yang mahal, yaitu BBM (termasuk elpiji) daripada LNG yang jauh lebih murah dan ramah lingkungan. LNG ini justru diekspor habis-habisan ke Cina, Singapura, atau Korea dengan harga amat murah. Kontrak LNG Tangguh ke Cina yang sedang dihebohkan saat ini harga efektifnya lebih murah daripada LPG 3 kg yang bersubsidi. Jadi, saat subsidi untuk rakyat terus dikurangi, Pemerintah justru mensubsidi Cina! Kontrak ini berjangka waktu 25 tahun sehingga kalau dipenuhi kita ditaksir akan rugi Rp 700 triliun!

Kedua, tidak ada keberpihakan pada kebutuhan pasar dalam negeri. UU 22/ 2001 tentang Migas, meskipun beberapa pasalnya yang sangat liberal telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetap saja belum menjadi UU yang mewajibkan pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri. Akibatnya, pabrik Pupuk Iskandar Muda dan pabrik Pupuk Aceh-Asean, yang keduanya berada di Aceh, misalnya, harus ditutup karena tidak mendapatkan pasokan gas. Demikian juga PLN yang tidak mendapat jaminan pasokan batubara 200 juta ton/tahun sehingga sekarang ada pemadaman bergilir. Rakyat juga tidak bisa mendapat sumber energi, termasuk minyak dan gas, dengan mudah dan murah.

Ketiga, kita tidak mengembangkan infrastruktur agar masyarakat menikmati energi secara baik dan efisien. Pipa gas alam dari Natuna justru disalurkan ke Singapura. Infrastruktur jaringan pipa agar bisa mensuplai gas untuk masyarakat justru tidak pernah atau sangat minim dibangun.

Walhasil, kita memang memiliki energi, tetapi tidak mengelolanya dengan baik. Sebesar 85% ladang migas kita dikuasai pihak asing. Bahkan kontrak-kontraknya tidak masuk akal. Misal di Blok Cepu, Exxon telah berubah dari sekedar technical assistance menjadi pemilik (owner). Semua akibat tekanan Pemerintah Amerika Serikat, bahkan Menlunya sendiri langsung datang ke Indonesia. Demikian juga lapangan LNG Tangguh, Beyond Petroleum (BP) menjualnya ke Cina dengan rumus, jika harga minyak dunia di atas 25 USD/barel, harganya fixed. Harga gas tangguh rata-rata cuma 3,33 USD per MMBTU, padahal di pasar sekitar 15 USD.

Akibat Migas dikuasai swasta apalagi swasta asing, maka rakyat yang katanya jadi pemilik kekayaan itu mengalami kesulitan untuk mendapatkannya dan harus membeli dengan harga mahal.

Jadi jelas, kekisruhan insiden ledakan gas yang terus terjadi selama ini meski tampak sebagai persoalan praktis namun memiliki akar penyebab yang sangat mendasar, yaitu diadopsinya sistem Kapitalisme dalam mengelola ekonomi dan kekayaan negeri ini termasuk dalam mengelola migas. Karena itu, solusi mendasar untuk memupus semua problem itu adalah dengan meninggalkan sistem Kapitalisme, dan kemudian mengadopsi sistem pemerintahan yang datang dari Tuhan Yang Maha Adil, dimana sistem tersebut pernah dijalankan pada masa pemerintahan Khalifah yang telah terbukti mencapai kegemilangan peradaban yang melahirkan tokoh-tokoh besar Islam di berbagai bidang kehidupan, jauh sebelum terjadinya jaman Renaissance yang melahirkan tokoh-tokoh besar di Barat.

Sistem Khalifah tersebut memandang seluruh kekayaan alam itu termasuk Migas adalah milik seluruh rakyat. Kekayaan itu tidak boleh dikuasai oleh swasta, tetapi harus dikelola oleh Pemerintah mewakili rakyat dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Sebagai pemilik, rakyat berhak untuk bisa memanfaatkan semua kekayaan itu sebaik mungkin dengan mudah dan murah. Rakyat tidak boleh dipaksa menggunakan jenis bahan bakar atau sumber energi tertentu, apalagi dipaksa membelinya dengan harga mahal. Sebaliknya, rakyat harus diberi pilihan berbagai sumber energi dan bahan bakar.

Pengelolaan kekayaan alam dan energi model Khalifah itu tidak mungkin terealisasi kecuali sistem Khalifah diterapkan secara total oleh negara. Hanya dengan itu rakyat akan merasakan kehidupan yang sejahtera, aman dan merasakan ketentraman, Tuhan berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan yang lebih baik kepada kalian." (QS al-Anfal [8]:24).


disarikan dari:
www.hizbut-tahrir.or.id

Kamis, 18 Maret 2010

NEGARA AMERIKA DIBANGUN DARI EMAS PAPUA

Penulis: Subhan Hassannoesi, Aktivis Dakwah Papua yang juga anggota Majelis Muslim Papua (MMP)

Freeport adalah pertambangan emas terbesar di dunia! Namun termurah dalam biaya operasionalnya. Sebagian kebesaran dan kemegahan Amerika sekarang ini adalah hasil perampokan resmi mereka atas gunung emas di Papua tersebut. Freeport banyak berjasa bagi segelintir pejabat negeri ini, para jenderal dan juga para politisi busuk, yang bisa menikmati hidup dengan bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini. Mereka ini tidak lebih baik daripada seekor lintah!

Akhir tahun 1996, sebuah tulisan bagus oleh Lisa Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut adalah “JFK, Indonesia , CIA and Freeport .”

Walau dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di negeri ini sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Dalam tulisannya, Lisa Pease mendapatkan temuan jika Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959.

Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.

Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di perpustakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.

Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pemimpin Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya diseluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada disekujur tubuh Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.

Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.

Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul "The Conquest of Cooper Mountain". Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah disekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.

Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak!! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama GOLD MOUNTAIN , bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.

Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.

Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.

Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.

Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar..

Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!

Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.

Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia , kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport .

Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia . Selain kaitannya dengan Freeport , Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia . Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.

Augustus C.Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.
http://berita. liputan6. com/progsus/ 200209/41945/ class=%27vidico% 27

Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C.Long juga aktif di Presbysterian Hospital di NY dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.

Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pemimpin Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial.

Pease mendapatkan data jika pada Maret 1965, Augustus C.Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Augustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di Negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.

Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jenderal Suharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.

Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno, Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengekplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget.

Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport ?

Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia . Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport . Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.

Sebab itulah, ketika UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport !. Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia , maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia .

Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.

Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.

Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setelab 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar didunia.

Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia!!

Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya EMASPURA. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapur a sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang!!!

Kesaksian seorang reporter CNN yang diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara. Dengan helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah berubah menjadi lembah yang dalam. Semua emas, perak, dan tembaga yang ada digunung tersebut telah dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah beracun yang mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua yang sampai detik ini masih saja hidup bagai di zaman batu.

Freeport merupakan ladang uang haram bagi para pejabat negeri ini, yang dari sipil maupun militer. Sejak 1967 sampai sekarang, tambang emas terbesar di dunia itu menjadi tambang pribadi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya.

Freeport McMoran sendiri telah menganggarkan dana untuk itu yang walau jumlahnya sangat besar bagi kita, namun bagi mereka terbilang kecil karena jumlah laba dari tambang itu memang sangat dahsyat. Jika Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus dibereskan terlebih dahulu.

[Forward email dari milis tetangga]
http://www.freelists.org/post/polines/FW-Negara-Amerika-dibangun-dari-emas-Papua

meski bukan fakta baru , tetapi artikel ini cukup menarik,
bagaimana menurut anda?
sungguh memprihatinkan kan?
ternyata mereka benar - benar menjual tanah air!

Rabu, 18 Maret 2009

Politik itu Tidak Pernah Independen

Debat seputar calon independen versus partai politik muncul akhir akhir ini. Beberapa artikel di Kompas, seperti artikel Ikrar Nusa Bhakti (20/6), kolom Budiarto Shambazy (9/6), dan Effendi Gazali (21/6), merefleksikan debat tersebut. Tulisan berikut pada intinya bermaksud untuk menyatakan bahwa debat calon independen versus partai politik dalam kompetisi politik demokratis, baik untuk legislatif maupun eksekutif, perlu ditanggapi dengan sangat hati hati.

Terdapat enam pertimbangan mengapa sikap kehati hatian ini perlu diambil. Pertama, pertimbangan filosofis. Demokrasi tidak berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah malaikat. Demokrasi sesungguhnya bertolak dari asumsi bahwa seluruh manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Karena itu, tidak ada jaminan bahwa calon independen akan membuat kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan akan berhenti di negeri ini. Yang harus dilakukan adalah bagaimana menciptakan mekanisme kelembagaan sehingga kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan itu dapat diminimalkan, misaInya dengan penguatan mekanisme checks and balances.

Kedua, pertimbangan isu amoralitas dalam politik. Adagium bahwa politics is immoral sebaiknya tidak dimaksudkan bahwa individu yang berkecimpung dalam politik tidak bermoral (amoral). Adagium itu lebih dimaksudkan untuk menyatakan bahwa politik tidak bersangkut paut dengan moral (politics has nothing to do with moral). Pengelolaan kekuasaan, apakah yang bekerja dalam kerangka demokratis maupun otoritarian, memiliki karakteristiknya sendiri sehingga tidak bisa diukur dengan standar moral yang berasal dalam kegiatan non politik.

Tidak ada jaminan, misalnya, bahwa individu individu yang selalu meneriakkan moral, bahkan yang berasal dari lingkungan keagamaan sekalipun, akan membuat kehidupan politik menjadi lebih baik seandainya mereka berkecimpung dalam proses politik. Karena itu, merupakan suatu tindakan spekulatif yang sangat berbahaya jika diasumsikan bahwa calon independen akan memiliki "moral" yang lebih baik daripada calon yang berasal dari partai politik.


Kedaulatan rakyat

Ketiga, pertimbangan demokrasi perwakilan. Adalah benar bahwa pelaksanaan demokrasi dilahirkan melalui faham kedaulatan rakyat (people sovereignity). Juga sukar dibantah bahwa demokrasi perwakilan yang dilaksanakan melalui partai politik telah mereduksi makna kedaulatan rakyat. Demokrasi tidak langsung telah menciptakan situasi di mana rakyat tetap berdaulat tetapi tidak dapat melaksanakan kedaulatannya (the people is the sovereign that cannot exercise its sovereignty). Namun jumlah penduduk yang bertambah dan wilayah negara yang luas hampir tidak mungkin lagi dari segi biaya dan efisiensi untuk melaksanakan model demokrasi langsung negara kota. Karena itu, mengutip pendapat Bernard Yack (2003), partai politik dan demokrasi perwakilan merupakan suatu temuan besar umat manusia untuk melestarikan faham kedaulatan rakyat.

Keempat, pertimbangan pelembagaan politik. Demokrasi dalam pelaksanaannya membutuhkan suatu keajekan (regularity). Manusia datang dan pergi, tetapi institusi idealnya diharapkan terus berlangsung. Peran partai politik untuk melakukan proses institusionalisasi itu tidak dapat diabaikan. Pada sisi lain, gagasan calon independen menyampaikan pesan adanya ketidakpercayaan besar terhadap institusi. Persoalan besar yang kita hadapi saat ini adalah adanya kecenderungan lembaga mewakili individu dan bukan sebaliknya. Defisit ketidakpercayaan (trust deficit) terhadap lembaga seperti ini akan dapat semakin rnenguat jika kita mendukung gagasan calon independen.

Persoalan ini juga tidak akan dapat diatasi semata mata dengan menyatakan go to hell with political parties. Apa yang perlu dilakukan kemudian dalam kehidupan bernegara saat ini bukanlah bagaimana menciptakan mekanisme agar individu dapat menundukkan lembaga, tetapi bagaimana membuat agar seluruh warga tunduk pada mekanisme kelembagaan.

Kelima, pertimbangan pembedaan. Secara teoretis, kehidupan politik demokratis selalu membuat pembedaan antara partai politik dan kelompok kepentingan. Di mana pun partai politik selalu berorientasi untuk memiliki kekuasaan, sedangkan kelompok kepentingan, seperti kelompok petani, buruh, usahawan, dan industri berorientasi untuk memengaruhi kekuasaan. Pembedaan antara orientasi pemilikan dan pemengaruh ini penting untuk memahami gagasan tentang calon independen dalam perspektif yang lebih tepat.

Adanya kelompok yang menyuarakan perlunya calon independen adalah sesuatu yang wajar. Suara itu dapat disebut sebagai suara kelompok kepentingan. Namun, akan menjadi gagasan yang menggelikan (ridiculous) jika kelompok yang menyuarakan itu juga mencalonkan anggotanya sebagai calon yang disebut independen. Sebaiknva. demi kehidupan transisi demokrasi yang haik, kelompok itu sebaiknya mengubah dirinya menjadi partai politik.

Keenam, pertimbangan bukti empiris. Tidak ada bukti yang sangat memuaskan untuk menyatakan bahwa calon independen tidak memiliki hubungan dengan partai politik. Ketidak hadiran partai politik dalam suatu proses kompetisi politik dernokratis tidak lalu berarti bahwa para calon bebas dari pengaruh partai politik. Pengalaman Dewan Perwakilan Daerah (DPD) barangkali menyampaikan pelajaran yang baik. Tidak semua anggota DPD dapat dikatakan bebas sepenuhnya dari afiliasi partai politik.

Calon interdependen
Atas dasar enam pertimbangan ini, gagasan yang harus kita munculkan bukanlah calon independen. Politik itu tidak pernah independen! Apalagi dalam demokrasi. Yang kita gagas sebaiknya calon yang interdependen. Maksudnya, calon itu harus dapat menyatakan secara terang benderang bahwa ia memiliki baku kait yang kuat baik dengan partai politik, dengan konstituensi, dengan kelompok kepentingan, dengan bangsanya, dan tentu saja dengan negaranya.

Bagaimana calon seperti itu dapat diperoleh? Salah satu caranya tentu saja adalah dengan tetap menghormati prinsip pers yang bebas dan melembaggakan kehidupan partai politik.

MAKMUR KELIAT
Pengajar FISIP UI

Senin, 13 Oktober 2008

Pemimpin-pemimpin Muda

Akhir-akhir ini bangkit keinginan atau gerakan kaum muda untuk menduduki jabatan-jabatan negara, menggantikan politisi tua yang selama ini dinilai tak becus memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Niat ini baik, tetapi perlu beberapa catatan.

Kekacaubalauan pemerintahan birokrasi modern Indonesia selama ini--yang mengakibatkan kelakuan korup di mana-mana--tak dapat dipahami tanpa menelusur genealoginya.

Asal mula kemodernan bukan dari niat kita sendiri, tetapi dari kolonialisme Belanda. Kalau Belanda tidak menjajah Indonesia, negara ini masih dikuasai raja-raja dengan sistem feodalnya. Belanda yang memakan kita untuk menjadi modern karena pemerintahan birokrasi mereka memang modern.

Pada zaman kolonial, terutama sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda membentuk negara birokrasi yang nonpolitik. Pemerintah kolonial tidak didasari oleh kepentingan partai politik tertentu dari pihak Belanda. Pemerintahan kolonial ini murni dari melayani keinginan partai-partai politik.

Dualisme pemerintahan
Negara Hindia-Belanda menganut dualisme pemerintahan. Pemerintahan inti adalah golongan Belanda yang menduduki jabatan puncak, yakni gubernur jenderal, sampai gubernur-gubernur dan residen. Sementara para residen mendampingi pemerintahan tingkat kedua yang terdiri dari para raja, bupati, wedana. Pemerintahan tingkat dua ini tidak modern birokratik, tetapi tradisional-feodalistik, bahkan bersifat adat.

Selama masa kolonial tak ada orang Indonesia yang dapat menduduki jabatan kolonial, sekurang-kurangnya residen, apalagi menjadi gubernur. Orang-orang Indonesia selama ini tidak punya pengalaman dalam tata kerja sistem birokrasi modern pemerintahan. Mereka hanya mengenal tata pemerintahan "tradisional" sejak dahulu kala.

Jadi, setelah kemerdekaan, para pejabat negara Indonesia yang baru. Ini sama sekali tidak punya pengalaman dalam birokrasi pemerintahan modern. Pengalaman mereka adalah pemerintahan Indonesia lama yang patrimonial, primordial, feodal. Pejabat adalah segalanya. Jabatan adalah kekuasaan itu sendiri, yakni negara itu sendiri.

Apa pun boleh dilakukan karena pemerintahan adalah miliknya. Keadaan tidak berpengalaman modern ini lebih diperparah lagi dengan munculnya berbagai gerakan nasional. Tentu saja semua gerakan nasional ini baik dan positif karena tujuan utamanya bebas dari pemerintahan kolonial. Tetapi, gerakan-gerakan ini sejak awal menganut berbagai ideologi yang saling bertentangan. Tak pernah ada persatuan ideology politik yang sesungguhnya sampai sekarang.

Tujuan gerakan-gerakan nasional ini jelas, yakni mengusir pemerintahan birokrasi kolonial dan membentuk pemerintahan dan negara Indonesia secara politis. Jadi, negara politik menggantikan negara nonpolitik (apolitik).

Salah urus negara
Sekarang ini ada dua macam "penyakit" bangsa, yakni system pemerintahan setengah patrimonial-tradisional dan setengah modern. Ini karena kita tak pernah memiliki pengalaman birokrasi modern tingkat residen, gubernur, dan gubernur jenderal kolonial. Kedua, kita membentuk negara partai bukan negara apolitik, negara yang mengatasi partai-partai.

Sistem birokrasi serba tanggung inilah yang mengakibatkan kita salah urus negara. Kita semua sebenarnya manusia banci. Bukan lelaki atau perempuan tulen. Tugas pemimpin muda sekarang adalah menjadi lelaki tulen itu. Menjadi birokrat modern seratus persen tanpa bias patrimonial dan kepartaian.

Menilik usia mereka di bawah 50 tahun (mengikuti Obama dan Kennedy), kelahiran mereka tahun 1960-an, saat Orde Baru mulai berkuasa.

Dekonstruksi besar-besaran
Pengalaman pada sistem pemerintahan yang tanggung ini adalah musuh utama mereka. Orang-orang ini harus tidak teracuni oleh alam pikiran kaum tua yang genealoginya kolonial. Kaum muda ini harus benar-benar pascakolonial, yang paham betul makna birokrasi pemerintahan modern yang murni. Pertama-tama mereka harus mampu menciptakan sebuah sistem baru yang bebas dari sistem gado-gado selama ini.

Tugas mereka berat, yakni dekonstruksi besar-besaran. Pemerintahan mereka harus bersih dari alam pikiran tua yang kini masih dominan. Banyak veteran kolonial yang hingga kini masih hidup. Pikiran dan sikap tanggung kebencian harus diganti. Karena mereka juga produk dari alam pikiran kacau itu dan sama sekali belum memiliki pengalaman birokrasi modern yang sesungguhnya (kecuali yang bekerja di perusahaan asing), pembelajaran dan pelatihan sistem birokrasi modern harus disiapkan. Mengubah budaya tidak semudah membalik telapak tangan, main simsalabim.

Pembongkaran cara berpikir sistemik ini tidak boleh jatuh ke zonesentrisme, kebiasaan adopsi cara berpikir asing tanpa kompromi. Indonesia memiliki historistasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa dan negara lain yang sudah maju. Kebiasaan asal meniru ini juga bawaan kolonial, karena kita warga kelas dua, semua yang berasal dari warga kelas satu kolonial kita puja dan kita tiru.

Menguasai data empiris Indonesia adalah titik tolak pembongkaran. Kita baru mampu membangun yang baru jika menguasai apa yang akan kita bongkar. Kemampuan semacam ini rata-rata sudah ditinggalkan bangsa Indonesia.

Banyak yang harus dipelajari selain niat baik saja.



Jakob Sumardjo Esais

Senin, 30 Juni 2008

Saat Melawan Bangsa Sendiri

Nasionalisme Indonesia adalah keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang orang kecil di Indonesia dari eksplorasi kaum kaya kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oleh oknum/lapisan bangsa Indonesia sendiri (JB Mangunwijaya, 1996).

Setiap generasi mempunyai tantangan berbeda, karena itu diperlukan cara berbeda untuk mengatasinya. Pada tahun 1908 dan tahun 1928, semangat untuk menjadi bangsa dan bersatu melatarbelakangi munculnya kesadaran berbangsa. Hal itu kemudian ditegaskan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 dengan berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yakni Indonesia.

Demikian pula semangat berdikari tahun 1945, memusuhi kolonial dan kolonialisme untuk memerdekakan bangsa. Jika tahun 1908, 1928, dan 1945 melahirkan kesadaran berbangsa yang bersatu dan merdeka; secara jujur harus diakui, reformasi 1998 yang heroik ternyata hanya menghasilkan pergantian penguasa. Substansi reformasi yang begitu mulia gagal diwujudkan.

Kini, spirit kebangsaan diperlukan untuk menghadapi tantangan generasi, yakni melawan diri sendiri. Spirit untuk tetap bersatu sebagai bangsa mandiri pada era perubahan yang begitu cepat harus tetap terjaga guna mewujudkan dan menumbuhkan kembali sisa nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kini tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah situasi ekonomi global yang begitu kuat memengaruhi perilaku kehidupan, gaya hidup, konsumerisme, hedonisme, kapitalisme, egoisme, dan situasi dalam keterpurukan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, dan kecemasan menghadapi ketidakpastian masa depan.

Bangsa dalam paradokisme
Kini bangsa ini ada dalam situasi paradoks. Pemerintah sebagai sosok yang seharusnya memikirkan dan menyejahterakan rakyat, menciptakan lapangan kerja, serta mencerdaskan rakyat justru sibuk membuat kebijakan yang memiskinkan, menjadikan pekerja menganggur, melakukan pembodohan, dan memikirkan diri sendiri.

Suami menganiaya istri dan ibu membunuh anak adalah paradoks paling tragis sekaligus ironis dalam komunitas bernama keluarga. Kisah inilah yang kerap ditemukan di negeri yang katanya mengedepankan nilai nilai keluarga yang saling menghormati.

Ekonomi dikabarkan terpuruk. Kemiskinan diberitakan bertambah. Namun setiap hari ratusan mobil baru terjual, ratusan barang mewah berpindah tangan dari penjual ke pembeli, mal mal penuh orang yang tertawa dan berbelanja dengan keranjang berlimpah barang, mobil mewah berseliweran memacetkan jalanan, serta restoran mahal penuh dengan kenikmatan konsumen. Dan, ungkapan filsuf Rene Descartes (1596 1650), cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada), dipelesetkan menjadi aku ada karena aku berbelanja.

Paradokisme mudah ditemui dalam kehidupan sehari hari. Pendidikan yang seharusnya membuat pandai telah berubah menjadi teror bagi murid, guru, dan orangtua hanya karena ritual rutin bernama ujian nasional.

Pemerintah, yang seharusnya menampung aspirasi dan keluhan rakyat tentang pendidikan yang sulit, mahal, dan tidak menjamin masa depan, justru tampil seperti manusia keras kepala tanpa telinga, tidak mau mendengar keluhan guru, orangtua siswa, dan pengamat pendidikan perihal ujian nasional.

Paradoks lainnya bertebaran di mana mana. Hukum yang tanpa keadilan, aparat negara yang tidak mengayomi rakyatnya, dan kekerasan dilakukan atas nama ajaran agama dan lainnya.

Tantangan kebangsaan
Mengingat Boedi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan RI 1945, dan reformasi 1998 tidak sekadar memutar memori masa lalu untuk dihadirkan hari ini. Mengingat masa lalu adalah menghadirkan spirit agar dapat menata hari ini dan menyiapkan masa depan. Karena itu, diperlukan gagasan besar dan visi jauh ke depan. Nasionalisme nyata hari ini adalah kepedulian atas kemiskinan, kesenjangan, dan kebodohan di tengah globalisasi.

Upaya berpikir dan bekerja dengan fokus mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan serta melawan korupsi adalah nasionalisme yang dibangun pada era abad ke 21 ini.

Mengkritik kebijakan negara yang paradoks dengan visi dan misi negara harus terus dilakukan sehingga menyadarkan pelaku negara untuk membangun bangsa yang kuat dengan mencerdaskan warganya agar bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.

Musuh kita adalah diri kita sendiri, kebodohan, kemiskinan, dan egoisme.

SULARDI