Kamis, 29 Juli 2010

Mengakhiri Teror 'Bom' Gas Elpiji

Pemerintah sejak tahun 2007 lalu gencar melakukan konversi (peralihan) penggunaan minyak tanah ke gas LPG (baca elpiji). Alasan utama dibalik kebijakan konversi minyak tanah itu konon untuk penghematan subsidi BBM. Pemerintah melalui pertamina sampai akhir Juni lalu sudah mendistribusikan sekurangnya 44,6 juta tabung gas ukuran 3 kg dari target sekurangnya 55 juta pada tahun 2011.

Sayang, program konversi ini banyak menemui masalah. Yang paling menonjol adalah terjadinya banyak kasus ledakan. Sejak tabung elpiji 3 kg dibagikan secara gratis oleh Pemerintah tahun 2007, kasus ledakan tabung 'melon' (sebutan populer untuk tabung gas 3 kg) ternyata cukup tinggi. Selama tahun 2008 terjadi 61 kasus, tahun 2009 terjadi 51 kasus dan pada tahun ini (hingga bulan Mei saja) sudah terjadi 33 kasus tabung gas elpiji meledak. Total berarti telah terjadi lebih dari 150 kasus ledakan dengan puluhan korban tewas dan lebih banyak lagi korban luka, termasuk anak-anak.

Terakhir, hanya dalam kurun 8 hari (19-26 Juli) telah terjadi 8 kali kasus ledakan tabung gas elpiji 3 kg di berbagai daerah. Artinya, ledakan gas elpiji terjadi setiap hari. Khusus wilayah Jabodetabek, menurut data Kepolisian Daerah Metro Jaya, selama April-Juli 2010 terjadi lebih dari 15 kali ledakan tabung gas elpiji 3 kg. Korban meninggal mencapai 9 orang dan puluhan orang lainnya luka (Kompas, 27/07/2010).

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab ledakan itu adalah kualitas tabung yang buruk, terutama katupnya, sehingga bisa bocor, juga kualitas regulator dan selang yang tidak memenuhi SNI. Penanganan tabung saat distribusi juga sering buruk seperti dengan cara dilempar-lempar.

Begitu seringnya terjadi ledakan gas elpiji tak ayal membuat para pengguna tabung gas ukuran 3 kg selalu merasa terancam. Tabung gas elpiji 3 kg seakan sudah menjelma jadi ancaman "bom" yang kapan saja bisa meledak, dan celakanya ada di dapur rumah kita. Tidak salah kiranya jika saat ini masyarakat sedang dihadapkan dengan teror "bom" gas elpiji.

Pemerintah Lamban
Meski sudah banyak korban ledakan, respon Pemerintah terbilang amat lamban. Langkah Pemerintah baru terlihat dengan dibentuknya Tim Nasional setelah rapat koordinasi di Kantor Wapres, 29 Juni lalu. Namun, langkah nyata belum terlihat, kecuali Pemerintah telah menyiapkan regulator dan selang berstandar SNI sebanyak 10 juta paket, dan masyarakat bisa menukarkan yang lama dengan membayar sekitar Rp 35 ribu. Terakhir dikatakan tabung gas 3 kg akan ditarik.

Sikap lamban seperti itu jelas menyalahi tuntunan seperti yang telah ditunjukan oleh ajaran agama (Islam). Karena dalam Islam terdapat tuntunan dengan jelas bahwa Pemerintah berkewajiban senantiasa mengurusi rakyatnya, sebagaimana telah disabdakan oleh Rasul SAW: "Seorang pemimpin (penguasa) adalah pengatur dan pemelihara urusan masyarakat dan dia bertanggung jawab atas urusan mereka." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Rasul SAW juga memperingatkan: "Siapa saja yang diserahi oleh Allah menangani urusan rakyat, lalu ia mengabaikan kebutuhan, kesusahan dan kemiskinan mereka maka Allah akan mengabaikan kebutuhan, kesusahan, dan kemiskinan mereka (pada Hari Akhir kelak)." (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Mengakhiri Teror "Bom" Gas Elpiji
Untuk mengakhiri teror 'bom' gas elpiji, ada beberapa langkah yang harus dilakukan segera. Pertama: semua tabung, regulator dan selang harus dipastikan dan dijamin berkualitas baik. Di lapangan, struktur dan aparatur pemerintah lintas departemen, termasuk Pertamina, bisa melakukan pengecekan hingga tingkat RT dan RW serta komunitas. Perangkat yang standar diberi tanda dan yang tidak memenuhi standar atau rusak diganti. Dananya diambil dari APBN. Tentu hal itu bisa dilakukan. Jika untuk menalangi Bank Century sebesar 6,7 triliun, dan sebelumnya BLBI hingga ratusan triliun saja Pemerintah bisa dan harus bisa, maka tentu saja untuk melaksanakan hal ini juga bisa dan harus bisa. Jika perusahaan otomotif saja bisa melakukan puluhan bahkan ratusan ribu mobil untuk dicek dan diperbaiki, masa Pemerintah dengan segala potensi, kemampuan, dan strukturnya kalah dengan perusahaan otomotif?

Kedua, harus ada pengawasan yang ketat dan berjenjang dari Pemerintah. Pengawasan dilakukan sejak pabrik hingga ke pengecer. Tabung harus dipastikan berkualitas baik dan tidak bocor, terutama pada bagian katup, dan ini bisa dilakukan di stasiun pengisian tabung. Pemerintah juga harus memastikan bahwa distributor hingga pengecer tersebut menjaga kualitas. Harus dijamin mereka memperlakukan tabung dengan baik, dan untuk itu perlu dilakukan pelatihan hingga tingkat pengecer. Artinya, harus ada pengawasan berjenjang dari Pemerintah hingga sampai ke konsumen, supaya Pemerintah tahu siapa yang jadi pihak ketiganya itu.

Ketiga, di tingkat konsumen harus dilakukan penyuluhan massal kepada masyarakat untuk pemakaian gas yang aman. Hal itu dilakukan dari rumah ke rumah dengan memanfaatkan struktur RT dan RW dan komunitas. Penyuluhan tidak cukup hanya menggunakan sarana komunikasi massa, karena kalau hanya lewat televisi misalnya, itu hanya satu arah; tidak ada dialog dan tidak bisa dipastikan konsumen paham.

Ke empat, Pemerintah harus mengusut dan menghukum dengan keras dan tegas siapa saja yang melakukan kecurangan, menyuntik gas, memalsukan selang dan lainnya yang sering disebut sebagai pihak ketiga penyebab ledakan.

Kelima, segera menyantuni seluruh korban atau mereka yang terkena musibah akibat ledakan tabung gas itu.

Minimal, kelima hal itulah yang harus dilakukan Pemerintah untuk mengakhiri teror ledakan tabung gas.

Solusi Mendasar
Jauh lebih mendasar dari penyebab semua itu, banyaknya kasus ledakan 'bom' gas elpiji adalah dampak dari adanya kebijakan konversi (pengalihan) penggunaan minyak tanah ke elpiji. Masyarakat dipaksa untuk menerima kebijakan Pemerintah ini dan tidak diberi pilihan energi lain. Kebijakan Pemerintah itu muncul tentu saja karena politik energi dan pengelolaan kekayaan umum yang salah mengikuti sistem Kapitalisme.

Sistem Kapitalisme apalagi dengan mazhab neoliberal menghendaki agar subsidi dalam segala bentuknya dihapuskan. Artinya, sangat mungkin ke depan, ketika Pemerintah memutuskan menghapus subsidi BBM termasuk gas tiga kiloan maka rakyat dipaksa membeli sesuai harga keekonomian. Harga keekonomian gas elpiji saat ini sekitar Rp. 7.680,- belum ditambah margin keuntungan badan usaha. Artinya, harga keekonomian gas 3 kg ditingkat pengecer nanti bisa mencapai Rp. 25 ribu per tabung. Pada saat itu nanti, besar kemungkinan akan timbul masalah lagi di tengah masyarakat.

Masalah ini semua berawal dari kesalahan politik energi. Pertama, masyarakat dipaksa mengkonsumsi jenis energi yang mahal, yaitu BBM (termasuk elpiji) daripada LNG yang jauh lebih murah dan ramah lingkungan. LNG ini justru diekspor habis-habisan ke Cina, Singapura, atau Korea dengan harga amat murah. Kontrak LNG Tangguh ke Cina yang sedang dihebohkan saat ini harga efektifnya lebih murah daripada LPG 3 kg yang bersubsidi. Jadi, saat subsidi untuk rakyat terus dikurangi, Pemerintah justru mensubsidi Cina! Kontrak ini berjangka waktu 25 tahun sehingga kalau dipenuhi kita ditaksir akan rugi Rp 700 triliun!

Kedua, tidak ada keberpihakan pada kebutuhan pasar dalam negeri. UU 22/ 2001 tentang Migas, meskipun beberapa pasalnya yang sangat liberal telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetap saja belum menjadi UU yang mewajibkan pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri. Akibatnya, pabrik Pupuk Iskandar Muda dan pabrik Pupuk Aceh-Asean, yang keduanya berada di Aceh, misalnya, harus ditutup karena tidak mendapatkan pasokan gas. Demikian juga PLN yang tidak mendapat jaminan pasokan batubara 200 juta ton/tahun sehingga sekarang ada pemadaman bergilir. Rakyat juga tidak bisa mendapat sumber energi, termasuk minyak dan gas, dengan mudah dan murah.

Ketiga, kita tidak mengembangkan infrastruktur agar masyarakat menikmati energi secara baik dan efisien. Pipa gas alam dari Natuna justru disalurkan ke Singapura. Infrastruktur jaringan pipa agar bisa mensuplai gas untuk masyarakat justru tidak pernah atau sangat minim dibangun.

Walhasil, kita memang memiliki energi, tetapi tidak mengelolanya dengan baik. Sebesar 85% ladang migas kita dikuasai pihak asing. Bahkan kontrak-kontraknya tidak masuk akal. Misal di Blok Cepu, Exxon telah berubah dari sekedar technical assistance menjadi pemilik (owner). Semua akibat tekanan Pemerintah Amerika Serikat, bahkan Menlunya sendiri langsung datang ke Indonesia. Demikian juga lapangan LNG Tangguh, Beyond Petroleum (BP) menjualnya ke Cina dengan rumus, jika harga minyak dunia di atas 25 USD/barel, harganya fixed. Harga gas tangguh rata-rata cuma 3,33 USD per MMBTU, padahal di pasar sekitar 15 USD.

Akibat Migas dikuasai swasta apalagi swasta asing, maka rakyat yang katanya jadi pemilik kekayaan itu mengalami kesulitan untuk mendapatkannya dan harus membeli dengan harga mahal.

Jadi jelas, kekisruhan insiden ledakan gas yang terus terjadi selama ini meski tampak sebagai persoalan praktis namun memiliki akar penyebab yang sangat mendasar, yaitu diadopsinya sistem Kapitalisme dalam mengelola ekonomi dan kekayaan negeri ini termasuk dalam mengelola migas. Karena itu, solusi mendasar untuk memupus semua problem itu adalah dengan meninggalkan sistem Kapitalisme, dan kemudian mengadopsi sistem pemerintahan yang datang dari Tuhan Yang Maha Adil, dimana sistem tersebut pernah dijalankan pada masa pemerintahan Khalifah yang telah terbukti mencapai kegemilangan peradaban yang melahirkan tokoh-tokoh besar Islam di berbagai bidang kehidupan, jauh sebelum terjadinya jaman Renaissance yang melahirkan tokoh-tokoh besar di Barat.

Sistem Khalifah tersebut memandang seluruh kekayaan alam itu termasuk Migas adalah milik seluruh rakyat. Kekayaan itu tidak boleh dikuasai oleh swasta, tetapi harus dikelola oleh Pemerintah mewakili rakyat dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Sebagai pemilik, rakyat berhak untuk bisa memanfaatkan semua kekayaan itu sebaik mungkin dengan mudah dan murah. Rakyat tidak boleh dipaksa menggunakan jenis bahan bakar atau sumber energi tertentu, apalagi dipaksa membelinya dengan harga mahal. Sebaliknya, rakyat harus diberi pilihan berbagai sumber energi dan bahan bakar.

Pengelolaan kekayaan alam dan energi model Khalifah itu tidak mungkin terealisasi kecuali sistem Khalifah diterapkan secara total oleh negara. Hanya dengan itu rakyat akan merasakan kehidupan yang sejahtera, aman dan merasakan ketentraman, Tuhan berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan yang lebih baik kepada kalian." (QS al-Anfal [8]:24).


disarikan dari:
www.hizbut-tahrir.or.id