Senin, 13 Oktober 2008

Pemimpin-pemimpin Muda

Akhir-akhir ini bangkit keinginan atau gerakan kaum muda untuk menduduki jabatan-jabatan negara, menggantikan politisi tua yang selama ini dinilai tak becus memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Niat ini baik, tetapi perlu beberapa catatan.

Kekacaubalauan pemerintahan birokrasi modern Indonesia selama ini--yang mengakibatkan kelakuan korup di mana-mana--tak dapat dipahami tanpa menelusur genealoginya.

Asal mula kemodernan bukan dari niat kita sendiri, tetapi dari kolonialisme Belanda. Kalau Belanda tidak menjajah Indonesia, negara ini masih dikuasai raja-raja dengan sistem feodalnya. Belanda yang memakan kita untuk menjadi modern karena pemerintahan birokrasi mereka memang modern.

Pada zaman kolonial, terutama sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda membentuk negara birokrasi yang nonpolitik. Pemerintah kolonial tidak didasari oleh kepentingan partai politik tertentu dari pihak Belanda. Pemerintahan kolonial ini murni dari melayani keinginan partai-partai politik.

Dualisme pemerintahan
Negara Hindia-Belanda menganut dualisme pemerintahan. Pemerintahan inti adalah golongan Belanda yang menduduki jabatan puncak, yakni gubernur jenderal, sampai gubernur-gubernur dan residen. Sementara para residen mendampingi pemerintahan tingkat kedua yang terdiri dari para raja, bupati, wedana. Pemerintahan tingkat dua ini tidak modern birokratik, tetapi tradisional-feodalistik, bahkan bersifat adat.

Selama masa kolonial tak ada orang Indonesia yang dapat menduduki jabatan kolonial, sekurang-kurangnya residen, apalagi menjadi gubernur. Orang-orang Indonesia selama ini tidak punya pengalaman dalam tata kerja sistem birokrasi modern pemerintahan. Mereka hanya mengenal tata pemerintahan "tradisional" sejak dahulu kala.

Jadi, setelah kemerdekaan, para pejabat negara Indonesia yang baru. Ini sama sekali tidak punya pengalaman dalam birokrasi pemerintahan modern. Pengalaman mereka adalah pemerintahan Indonesia lama yang patrimonial, primordial, feodal. Pejabat adalah segalanya. Jabatan adalah kekuasaan itu sendiri, yakni negara itu sendiri.

Apa pun boleh dilakukan karena pemerintahan adalah miliknya. Keadaan tidak berpengalaman modern ini lebih diperparah lagi dengan munculnya berbagai gerakan nasional. Tentu saja semua gerakan nasional ini baik dan positif karena tujuan utamanya bebas dari pemerintahan kolonial. Tetapi, gerakan-gerakan ini sejak awal menganut berbagai ideologi yang saling bertentangan. Tak pernah ada persatuan ideology politik yang sesungguhnya sampai sekarang.

Tujuan gerakan-gerakan nasional ini jelas, yakni mengusir pemerintahan birokrasi kolonial dan membentuk pemerintahan dan negara Indonesia secara politis. Jadi, negara politik menggantikan negara nonpolitik (apolitik).

Salah urus negara
Sekarang ini ada dua macam "penyakit" bangsa, yakni system pemerintahan setengah patrimonial-tradisional dan setengah modern. Ini karena kita tak pernah memiliki pengalaman birokrasi modern tingkat residen, gubernur, dan gubernur jenderal kolonial. Kedua, kita membentuk negara partai bukan negara apolitik, negara yang mengatasi partai-partai.

Sistem birokrasi serba tanggung inilah yang mengakibatkan kita salah urus negara. Kita semua sebenarnya manusia banci. Bukan lelaki atau perempuan tulen. Tugas pemimpin muda sekarang adalah menjadi lelaki tulen itu. Menjadi birokrat modern seratus persen tanpa bias patrimonial dan kepartaian.

Menilik usia mereka di bawah 50 tahun (mengikuti Obama dan Kennedy), kelahiran mereka tahun 1960-an, saat Orde Baru mulai berkuasa.

Dekonstruksi besar-besaran
Pengalaman pada sistem pemerintahan yang tanggung ini adalah musuh utama mereka. Orang-orang ini harus tidak teracuni oleh alam pikiran kaum tua yang genealoginya kolonial. Kaum muda ini harus benar-benar pascakolonial, yang paham betul makna birokrasi pemerintahan modern yang murni. Pertama-tama mereka harus mampu menciptakan sebuah sistem baru yang bebas dari sistem gado-gado selama ini.

Tugas mereka berat, yakni dekonstruksi besar-besaran. Pemerintahan mereka harus bersih dari alam pikiran tua yang kini masih dominan. Banyak veteran kolonial yang hingga kini masih hidup. Pikiran dan sikap tanggung kebencian harus diganti. Karena mereka juga produk dari alam pikiran kacau itu dan sama sekali belum memiliki pengalaman birokrasi modern yang sesungguhnya (kecuali yang bekerja di perusahaan asing), pembelajaran dan pelatihan sistem birokrasi modern harus disiapkan. Mengubah budaya tidak semudah membalik telapak tangan, main simsalabim.

Pembongkaran cara berpikir sistemik ini tidak boleh jatuh ke zonesentrisme, kebiasaan adopsi cara berpikir asing tanpa kompromi. Indonesia memiliki historistasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa dan negara lain yang sudah maju. Kebiasaan asal meniru ini juga bawaan kolonial, karena kita warga kelas dua, semua yang berasal dari warga kelas satu kolonial kita puja dan kita tiru.

Menguasai data empiris Indonesia adalah titik tolak pembongkaran. Kita baru mampu membangun yang baru jika menguasai apa yang akan kita bongkar. Kemampuan semacam ini rata-rata sudah ditinggalkan bangsa Indonesia.

Banyak yang harus dipelajari selain niat baik saja.



Jakob Sumardjo Esais

Senin, 30 Juni 2008

Saat Melawan Bangsa Sendiri

Nasionalisme Indonesia adalah keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang orang kecil di Indonesia dari eksplorasi kaum kaya kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oleh oknum/lapisan bangsa Indonesia sendiri (JB Mangunwijaya, 1996).

Setiap generasi mempunyai tantangan berbeda, karena itu diperlukan cara berbeda untuk mengatasinya. Pada tahun 1908 dan tahun 1928, semangat untuk menjadi bangsa dan bersatu melatarbelakangi munculnya kesadaran berbangsa. Hal itu kemudian ditegaskan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 dengan berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yakni Indonesia.

Demikian pula semangat berdikari tahun 1945, memusuhi kolonial dan kolonialisme untuk memerdekakan bangsa. Jika tahun 1908, 1928, dan 1945 melahirkan kesadaran berbangsa yang bersatu dan merdeka; secara jujur harus diakui, reformasi 1998 yang heroik ternyata hanya menghasilkan pergantian penguasa. Substansi reformasi yang begitu mulia gagal diwujudkan.

Kini, spirit kebangsaan diperlukan untuk menghadapi tantangan generasi, yakni melawan diri sendiri. Spirit untuk tetap bersatu sebagai bangsa mandiri pada era perubahan yang begitu cepat harus tetap terjaga guna mewujudkan dan menumbuhkan kembali sisa nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kini tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah situasi ekonomi global yang begitu kuat memengaruhi perilaku kehidupan, gaya hidup, konsumerisme, hedonisme, kapitalisme, egoisme, dan situasi dalam keterpurukan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, dan kecemasan menghadapi ketidakpastian masa depan.

Bangsa dalam paradokisme
Kini bangsa ini ada dalam situasi paradoks. Pemerintah sebagai sosok yang seharusnya memikirkan dan menyejahterakan rakyat, menciptakan lapangan kerja, serta mencerdaskan rakyat justru sibuk membuat kebijakan yang memiskinkan, menjadikan pekerja menganggur, melakukan pembodohan, dan memikirkan diri sendiri.

Suami menganiaya istri dan ibu membunuh anak adalah paradoks paling tragis sekaligus ironis dalam komunitas bernama keluarga. Kisah inilah yang kerap ditemukan di negeri yang katanya mengedepankan nilai nilai keluarga yang saling menghormati.

Ekonomi dikabarkan terpuruk. Kemiskinan diberitakan bertambah. Namun setiap hari ratusan mobil baru terjual, ratusan barang mewah berpindah tangan dari penjual ke pembeli, mal mal penuh orang yang tertawa dan berbelanja dengan keranjang berlimpah barang, mobil mewah berseliweran memacetkan jalanan, serta restoran mahal penuh dengan kenikmatan konsumen. Dan, ungkapan filsuf Rene Descartes (1596 1650), cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada), dipelesetkan menjadi aku ada karena aku berbelanja.

Paradokisme mudah ditemui dalam kehidupan sehari hari. Pendidikan yang seharusnya membuat pandai telah berubah menjadi teror bagi murid, guru, dan orangtua hanya karena ritual rutin bernama ujian nasional.

Pemerintah, yang seharusnya menampung aspirasi dan keluhan rakyat tentang pendidikan yang sulit, mahal, dan tidak menjamin masa depan, justru tampil seperti manusia keras kepala tanpa telinga, tidak mau mendengar keluhan guru, orangtua siswa, dan pengamat pendidikan perihal ujian nasional.

Paradoks lainnya bertebaran di mana mana. Hukum yang tanpa keadilan, aparat negara yang tidak mengayomi rakyatnya, dan kekerasan dilakukan atas nama ajaran agama dan lainnya.

Tantangan kebangsaan
Mengingat Boedi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan RI 1945, dan reformasi 1998 tidak sekadar memutar memori masa lalu untuk dihadirkan hari ini. Mengingat masa lalu adalah menghadirkan spirit agar dapat menata hari ini dan menyiapkan masa depan. Karena itu, diperlukan gagasan besar dan visi jauh ke depan. Nasionalisme nyata hari ini adalah kepedulian atas kemiskinan, kesenjangan, dan kebodohan di tengah globalisasi.

Upaya berpikir dan bekerja dengan fokus mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan serta melawan korupsi adalah nasionalisme yang dibangun pada era abad ke 21 ini.

Mengkritik kebijakan negara yang paradoks dengan visi dan misi negara harus terus dilakukan sehingga menyadarkan pelaku negara untuk membangun bangsa yang kuat dengan mencerdaskan warganya agar bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.

Musuh kita adalah diri kita sendiri, kebodohan, kemiskinan, dan egoisme.

SULARDI


Bercerai Kita Runtuh

Indonesia bersatu. karena faktor eksternal. Namun, keruntuhannya akibat faktor internal.

Kita tak mampu menjaga kesatuan karena tak ada "musuh" bersarna. Kini, zamannya lu, lu; gue, gue, bukan "kamu adalah aku", kita; tetapi "kami dan mereka".

Mengakui yang lain, yang berbeda, menghormati, dan ikut menjaga keberbedaan kini dinilai tidak waras. Yang waras adalah gua, gua; lu, lu. Kamu bukan aku. Dan karena kamu mengganggu keberadaanku, kamu harus minggir atau atau lenyapkan.

Prinsip, "kamu bukan aku" ini sudah menjalar dalam hubungan negara rakyat, milik umum milik privat, perusahaan buruh, kepala sekolah murid, lurah penduduk. Kita kaget saat rel KA digergaji agar gerbongnya terguling, saat kaca kaca jendela KA retak dilempari batu, lampu lampu taman dipecahi, monumen dan arkeologi dikotori grafiti, trotoar jadi kaki lima, kolong jalan layang menjadi hunian.

Itu semua hanya gejala kecil yang baru timbul. Selama ini kita menganggap waras waras saja saat prinsip la, lu, gue, gue, yang jauh lebih raksasa, telah berlangsung puluhan tahun. Gua pejabat, lu rakyat. Lu memotong rel KA, gua memotong anggaran perbaikan kampung dan dana bantuan bencana. Lu menyerobot lahan kosong di kota, gua menyerobot ratusan hektar hutan tropis. Lu bikin grafiti di sejumlah situs purbakala, gua telah lama membiarkan benda milik negara diperdagangkan di luar negeri. Lu bikin rumah. di kolong jembatan layang, gua menggusur hunian kumuh di kota demi "kepentingan umum". Apa yang kini kau lakukan, cuma tiruan dari yang aku lakukan puluhan tahun lalu.

Zaman edan
Gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu tanaman di halaman tetangga tampak seperti gajah. Kita buta terhadap hukum kausalitas. Kekurangaan rakyat kecil, ketidakwarasan rakyat kecil, kenekatan rakyat kecil yang kian berani dan menonjol akhir akhir ini adalah akibat pertunjukan teater negara yang selama ini kita mainkan. Jika para pembesar boleh menggusur paksa, membabati hutan, membiarkan banjir, lumpur, menyerbu keluarga kami, mengapa saya tidak boleh membangun rumah di lahan kosong milik mereka? Jika mereka boleh memotong anggaran miliaran rupiah sehingga jembatan runtuh, bangunan SD ambruk, dan jatuh korban, mengapa saya tidak boleh memotong rel kereta api, menggali jalan umum. Mengapa mereka yang sudah puluhan tahun melanggar hukum dibiarkan hidup mewah, sedangkan kami yang melanggar hukum demi nyawa sendiri dituduh biadab?

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika guru guru (lelaki) kencing berdiri di tepi jalan, murid murid mungkin kaget akan ketidakwarasan guru-guru ini. Namun, saat kencing berdiri itu dianggap waras waras saja oleh para guru, para murid menirunya lebih ekstrem. Mereka kencing sambil berlari sepanjang jalan. Inilah zaman edan. Dalam zaman edan, yang waras itu edan, dan yang edan itu waras. Inilah yang terjadi pada zaman reformasi ini. Membunuh, merampok, dan mencuri milik umum itu dianggap baik, menipu publik itu baik asal semua ada hubungannya antara urusan privat dan umum. Semua ketidakwarasan itu waras belaka selama terjadi oposisi biner antara privat dan publik. Namun, ketidakwarasan itu jelas tidak waras jika menyangkut hubungan publik-publik dan privat-privat.

Mencuri milik negara atau milik umum itu wajar. Malah tidak waras kalau ada pribadi yang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Merusak milik negara itu juga wajar wajar belaka, baik pribadi pejabatnya maupun rakyat kecil yang terpepet. Sebaliknya, atas nama negara, atas nama publik, seorang pejabat sah sah saia menggusur, merampas, menghancurkan milik rakyat kecil.

Yang berkuasa dan yang tak berdaya adalah pasangan kembar oposisi. Pasangan kembar ini bukan saling melengkapi, saling menghormati, saling mengakui, dan saling mengawini, melainkan pasangan perseteruan. Negara dan rakyat pasangan permusuhan, pertikaian, perceraian. Setelah bersatu pada masa revolusi, bulan madu negara-rakyat ini menjadi pasangan musuh. Rakyat mulai berani dan beringas merusak barang-barang milik negara, milik umum.

Kontradiksi etika
Rakyat adalah murid yang baik, penurut. Tetapi jika yang seharusnya dipatuhi, disegani, dituruti, diteladani malah kencing berdiri, apa boleh buat jika rakyat mengencingi guru guru itu. Negara ini rusak oleh pemimpinnya sendiri. Para pengelola negar bersikap kontradiktif dengan etikanya sendiri. Yang seharusnya menjadi teladan, menjadi pecundang. Yang seharusnya mengayomi, ikut merusak. Yang seharusnya melayani, minta dilayani. Yang seharusnya membantu malah minta bantuan. Bukan melindungi, malah mengancam.

Bagaimana rakyat dapat tahan menonton teater negara ini. Kini saatnya rakyat memainkan teaternya sendiri. Jika dalam teater negara rakyat jadi korban, dalam teater rakyat negara jadi korban. Rakyat mulai merusak milik negara. Lambang lambang pemerintahan dihujat. Benda benda milik pemerintah dirusak.

Ini tanda tanda zaman, sebuah gejala geiala awal. Rakyat sudah tidak waras lagi menggergaji rel kereta api, merusak jalan tol membakar gedung mewah kabupaten, mencorengi monumen monumen negara. Jika teater negara ini tidak segera men hentikan lakon lamanya, tidak heran jika ketidakwarasan rakyat akan meningkat bukan saja pada lambang milik negara dan pemerintahan, melainkan menjurus kepada aktor aktornya. Peradilan rakyat akan muncul. Revolusi Perancis dan revolusi khmer Merah di Kamboja bisa terwujud di Indonesia. Kegilaan tidak akan dapat dibendung lagi.

Seuntung untungnya yang gila lebih untung yang tidak ikut gila, meski tak dapat bagian.


JAKOB SUMARDJO

Minggu, 29 Juni 2008

Menebar minyak di tangga-istana

Setelah melalui lobi alot, DPR akhirnya meloloskan hak angket tentang kenaikan harga BBM. Hak angket DPR ini adalah otopsi politik yang dilakukan DPR dengan menggunakan pisau bedah hukum atas suatu. kebijakan Presiden cq pemerintah.

Dalam otopsi ini, jika ditemukan penyakit di balik kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), DPR memiliki argumentasi kuat untuk penggunaan hak menyatakan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar konstitusi. Setuju atau tidak, fakta lolosnya angket adalah salah satu wujud aktualisasi DPR sebagai institusi wakil rakyat. Pasalnya, bagaimanapun, rakyat pasti bertanya mengapa Presiden mengambil langkah menaikkan harga BBM yang bertentangan dengan kontrak sosial kita.

Janji dan otoritas
Terkait dengan kebijakan menaikkan harga BBM , mungkin benar Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak pernah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM seperti polemik iklan Wiranto beberapa waktu lalu. Namun, dalarn analisis konstitusional, Presiden Yudhoyono saat pelantikan, di hadapan Sidang Paripurna MPR, telah bersumpah akan menjalankan konstitusi selurus lurusnya. Dalam analisis berikut, apakah Presiden memiliki otoritas penuh menaikkan harga BBM seperti di negara lain terkait dengan situasi pasar global migas. Hal ini tentu amat difobiakan pendiri negara saat menyusun kontrak sosial, UUD 1945.
Intinya, para pendiri negara memilih konsep negara kesejahteraan (welfare state), di mana negara tidak boleh disubordinasi totalitas oleh rezim pasar. Kemudian negara seolah takluk dan membiarkan pasar merangsek masuk dan mematikan nyala dapur kehidupan rakyat, membuat kehidupan rakyat morat marit.

Kontrak sosial kita amat mengharamkan hal itu. Yang dicita citakan adalah proteksi kekuasaan (negara) akan kehidupan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial.

Dasar konstitusi
Berbicara tentang kebijakan energi, pilar utamanya pada Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dua konsepsi penting negara kesejahteraan adalah "dikuasai negara" dan "untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat'. Konsep "dikuasai negara" bukan negara sebagai pengusaha atau regulator ataupun harga BBM tunduk pada harga pasar global atau sebaliknya.

Hal pertama dan utama adalah negara wajib menjadikan harga BBM domestik terjangkau oleh rakyat karena di sinilah letak konsepsi "sebesar besarnya kemakmuran rakyat". Andaikan harga BBM di pasar global tetap terjangkau, harga itu tidak haram untuk diterapkan sebagai harga domestik. Namun, jika harga itu tidak terjangkau, negara bertanggung jawab untuk menjadikannya terjangkau.

Artikulasi mudahnya, jika harga BBM di pasar global Rp 10.000 sedangkan rakyat hanya mampu membeli Rp. 5.000, selisih negatifnya (Rp 5.000) menjadi tanggung jawab negara. Atau, jika harga BBM di pasar global Rp 10.000 dan ternyata rakyat mampu membeli hingga Rp 12.000, Negara bisa menaikkan harga. BBM domestik menjadi Rp.11.000. Ini tidak masalah selama ada asumsi ekonomi konstitusional yang rasional dan akuntabel.

Di situlah muruah saat kontrak sosial kita berbeda dengan negara lain dan negara tetangga saat rakyat Indonesia memberi kuasa kepada negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk cabang produksi penting, untuk kemakmuran rakyat sebesar besarnya.

Di sinilah negara. diberi kuasa oleh rakyat melalui konstitusi. Maka, negara harus bertanggung jawab akan keterjangkauan, ketersediaan, ketahanan nasional, kemerataan, serta keadilan dari minyak dan gas bumi (migas) sehingga dapat dikonsumsi atau diproduksi optimal guna sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pada konteks ini, bisa dipahami bahwa menjadi presiden itu berat, berbeda dengan presiden negara lain yang tidak memiliki Pasal 33 pada konstitusinya.

Berdasarkan sistem ekonomi konstitusional ini, bisa dipahami mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 28 Ayat 2 UTJ No 22/2001 tentang Migas, harga BBM dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, bertentangan dengan UUD 1945. Dengan inkonstitusionaInya ketentuan ini, Presiden tidak dapat menggunakan logika pasar yang sehat dan wajar guna mengurangi beban keuangan negara dalam kebijakannya di sektor migas. Apalagi, harga sehat dan wajar dalam logika pasar belum tentu sehat dan terjangkau dalam logika rakyat.

Tanggung jawab sosial
Pertanyaan lebih lanjut, siapakah yang dimaksud "rakyat" dalam "sebesar besarnya kemakmuran rakyat"?

Tentu saja semua warga negara Indonesia, entah kaya atau miskin, gemuk atau kurus. Dengan definisi "rakyat" itu, secara linear MK pun menyatakan Pasal 28 Ayat 3 UU Migas, pelaksanaan kebijaksanaan harga migas tidak mengurangi tanggungjawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu, bertentangan dengan UUD 1945. Negara tidak hanya bertanggung jawab atas kasta rakyat tertentu, tetapi juga seluruh rakyat dalarn segala kastanya.

Karena itu, pemerintah tidak boleh berdalih bahwa subsidi harga BBM selama ini mengalami distorsi karena juga dinikmati orang kaya sehingga dialihkan ke rakyat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT). Khusus tentang BLT, ini adalah kewajiban konstitusional lain yang sudah terberikan melalui Pasal 34 UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara.

Karena itu, drama angket ini bisa jadi akan menebar minyak di tangga istana, terlepas apa motif politik di baliknya, tetapi vang utama kembali ke konstitusi.

A. IRMANPUTRA SIDIN
Mantan Koordinator Staf Ahli
Mahkamah Konstitusi


Pemerintah sejak Semula Ceroboh

Revisi PP Pemekaran Daerah Masih Sinkronisasi.

Maraknya pemekaran daerah otohom baru, yang akhirnya justru membebani keuangan negara, tak terlepas dari kecerobohan pemerintah sendiri sejak awal. Jika pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah sejak semula tegas pada standar yang dipakai untuk memekarkan daerah otonom, negara tak perlu menanggung beratnya beban keuangan.

Demikian diutarakan peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, di Jakarta, Jumat (24/8). Ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR dan DPD untuk menghentikan pemekaran daerah (Kompas, 24/8), dinilai tidak fair dan cuma upaya menimpakan kesalahan pemerintah dan lembaga negara kepada publik.

Pemekaran daerah seharusnya dilakukan dengan hati hati dan mematuhi syarat kualifikasi terbentuknya daerah otonom baru. Jika dalam evaluasi setelab dimekarkan dinilai tidak layak, pemerintah tidak perlu ragu untuk menggabungkannya kembali dengan daerah induk.

"Penghentian pemekaran daerah tak fair karena banyak calon daerah otonom yang benar, benar memiliki potensi ekonomi, sosial, dan politik kuat, tetapi belum sempat dimekarkan," kata Syarif.

Syarif mengusulkan pemekaran daerah tidak dilakukan secara langsung, tetapi bertahap seperti pada masa Orde Baru. Sebelum resmi menjadi daerah otonom, sebuah wilayah yang akan dimekarkan dari daerah induk dapat dijadikan pemerintahan administratif dahulu. Jika dalam rentang waktu tertentu dinilai berhasil, daerah itu dapat dimekarkan. Jika dinilai gagal, wilayah itu kembali ke daerah induk.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Tommi A Legowo, mengatakan, kemampuan pemerintah dalam menyediakan sumber daya dan instrumen untuk menverifikasi syarat pemekaran dan mengevaluasi kelayakan daerah pemekaran baru memang terbatas.

Selama ini, hasil verifikasi pemekaran daerah dan evaluasinya tak dipublikasikan terbuka. Akibatnya, pemekaran daerah lebih banyak ditentukan berdasarkan negosiasi politik antara pengusul dan pemerintah pusat.

Jika pemerintah tak lekas menetapkan standar jelas pemekaran daerah serta itikad kuat untuk mematuhi aturan yang ada, Tommi yakin anggaran negara makin berat akibat banyaknya daerah otonom baru yang menggantungkan keuangannya kepada pemerintah pusat.

Tahap sinkronisasi
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang, Jumat, menjelaskan, draf revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 yang mengatur tentang pemekaran masih dalam tahap sinkronisasi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). "Kira kira satu atau dua bulan lagi PP keluar," katanya.

Draf revisi PP No 129/2000 itu disusun Depdagri sejak dua tahun lalu. Namun, hingga kini drafnya masih dalam pembahasan. Di sisi lain, pembahasan pemekaran daerah tetap dilakukan DPR dan pemerintah.

Wakil Ketua Komisi 11 DPR Sayuti Asyathri dan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Mahfudz Siddiq, secara terpisah, Jumat, menyebutkan, komitmen pemerintahlah yang lebih menentukan pemekaran daerah.

Menurut Sayuti, selama ini pemerintah lamban mengevaluasi daerah otonom baru. Revisi PP juga macet sehingga DPR tak memiliki pilihan menyikapi usul pembentukan daerah otonom baru.

Presiden Dinilai Tidak Patuhi Konstitusi

Forum Konstitusi menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mematuhi konstitusi dengan ide membentuk Komisi atau Panitia Nasional yang bertugas menelaah sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, dan pranata hukum yang tepat untuk negara. Seharusnya ide tersebut muncul dari MPR, bukan dilontarkan oleh Presiden.

Hal ini diungkapkan beberapa anggota Forum Konstitusi dalam jumpa pers di Kantor Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/8). Anggota forum itu adalah AM Lutfi, Hamdan Zoelva, Harun Kamil, Seto Hariyanto, Zaki Ahmad Siradj, dan Katin Subiantoro. Mereka bertemu dehgan Ketua MK Jimly Asshiddiqie terkait dengan gagasan Presiden ingin membentuk Komisi atau Panitia Nasional. "Kami tidak mempersoalkan perubahan UUD 1945, tetapi yang kami sayangkan mengapa Presiden Yudhoyono melontarkan pembentukan Komisi atau Panitia Nasional yang mengkaji sistern ketatanegaraan, sistem pemerintahan, dan pranata hukum. Ini seharusnya kewenangan MPR," ungkap Hamdan.

Hamdan kemudian mengutip Pasal 9 UUD 1945 tentang sumpah presiden. "Di dalam sumpahnya, presiden akan melaksanakan UUD 1945 selurus lurusnya. Jadi, presiden itu bertugas melaksanakan UUD 1945," kata Hamdan.

Hamdan mengatakan, selain akan menyampaikan persoalan ini ke MK, Forum Konstitusi juga akan menyampaikan masalah ini ke MPR dan juga ke Presiden.

Kemarin, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (F PAN) MPR Patrialis Akbar juga menyatakan, tawaran Presiden itu dinilai justru keluar dari prinsip konstitusi. Kehadiran institusi tersendiri dl luar jalur yang dibentuk MPR dapat diartikan sebagai upaya delegitimasi anggota MPR yang berwenang menetaphan dan mengubah UUD 1945.

Patrialis menilai, usul pembentukan institusi semacam itu sangat berbahaya. Untuk mengubah UUD 1945, mekanismenya jelas dan bukannya malah dengan membentuk komisi lain. "Siapa pun penyelenggara negara perlu berhati hati dalam berpendapat termasuk dari seorang Presiden yang harus memosisikan diri sebagai pemersatu bangsa yang wajib taat asas," ungkap Patrialis.

Namun, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Denny Indrayana, berpendapat, Presiden bisa saja membentuk komposisi negara.

Selasa, 19 Februari 2008

Nasib Gelandangan Tua yang Dibuang ke Tepi Hutan

Tatapan mata 20 orang berusia lanjut itu kosong. Raut wajah mereka tidak membersitkan senyum. Bajunya kumal, lusuh, bahkan tak terurus. Suratmi, salah seorang gelandangan berusia 65 tahun itu, sesekali menyeka air matanya dengan kain kumal yang melingkar di lehernya. “Kami ditangkap polisi PP Jombang dan dibuang ke sawah dekat hutan,” ujarnya dalam bahasa Jawa saat ditemui di Panti Unit Pelayanan Sosial Bina Karya Kertosono, Nganjuk, dua hari lalu.

Suratmi menuturkan dia dan 19 rekannya diturunkan secara paksa dari truk terbuka oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Jombang di malam buta pada Selasa lalu di persawahan sepi pinggir hutan dekat Desa Ketawang, Gondang, Nganjuk, Jawa Timur. Tak ada perlawanan karena tangan-tangan kekar yang menarik mereka turun dari truk lebih kuat dibanding tubuh renta mereka. Dengan pandangan mata yang kabur, mereka tertatih-tatih mencari jalan di malam gelap diiringi hujan deras.

Beruntung sejumlah warga menemukan mereka pada malam keesokan harinya di kawasan hutan Ketawang. Di malam buta itu warga membawa mereka ke balai desa dan memberi mereka makan. Warga bersama pamong desa setempat lalu melapor ke kantor Kepolisian Sektor Gondang dan kemudian menitipkan mereka ke Panti Sosial Bina Karya di Kertosono, Nganjuk.

“Salah kulo niki nopo toh, mas? Kulo pancen kere, tapi kulo sanes maling (Salah saya ini apa, Mas? Saya memang kere, tapi bukan maling). Mengapa kami diperlakukan seperti ini.” Ujar Suratmi di tempat penampungan sementara itu. SUratmi mengaku tidak dendam diperlakukan seperti ini. “Tapi mesti wonten balesane (tapi kelak akan ada balasannya),” ujarnya.

Kepala Panti Sosial BIna Karya Kertosono, Marnoto, heran melihat kejadian ini. “Meski gelandangan dan pengemis, mereka juga manusia. Apalagi usia mereka sudah lanjut,” ujarnya. Sejatinya, kata Marnoto, pantinya tidak bisa menampung mereka. Sebab, pantinya bertugas memberikan bekal keterampilan kepada gelandangan dan pengemis yang masih bisa hidup mandiri. Sedangkan para jompo jelas tidak mungkin. Tapi Marnoto akan berkoordinasi dengan panti yang bisa menampung mereka.

Adapun Kepala Seksi Pengendalian dan Operasional Satpol PP Jombang, Jawa Timur, Wiko F. Diaz, saat dimintai konfirmasi mengatakan sejumlah gelandangan dan pengemis berusia tidak produktif atau 55 tahun ke atas telah diturunkan di daerah perbatasan Jombang-Nganjuk, tepatnya di Kertosono. “Kami tidak mungkin tega membuang mereka begitu saja,” ujarnya saat dihubungi kemarin.

Menurut dia, ini berawal saat petugas Satpol PP merazia berbagai sudut kota di Jombang pada Selasa lalu. Sebanyak 32 gelandangan dan pengemis terjaring. Di antara mereka dikembalikan di rumah singgah, dijemput keluarga, dan sebagian diantar ke perbatasan Jombang, Nganjuk. Para gelandangan itu diturunkan ke daerah perbatasan dengan harapan agar mereka pulang ke kampung halamannya di luar kota Jombang. Lagi pula, kata Wiko, pihaknya telah memberikan uang saku untuk transportasi kepada para gelandangan itu. “Kami member ala kadarnya,” ujarnya.



Koran Tempo, 9 Februari 2008, (Dwidjo U Maksum/ Dini Mawuntyas).

Minggu, 27 Januari 2008

Anggota DPR Bisa Langsung Jadi Calon Anggota DPD

Jakarta, Kompas - Keinginan politisi partai politik untuk masuk ke Dewan Perwakilan Daerah atau DPD makin lempang. Setelah dipastikan anggota parpol tanpa batasan tenggang waktu bisa mencalonkan diri sebagai anggota DPD, kini muncul usul agar anggota DPR periode 2004-2009 bisa langsung ditetapkan sebagai calon anggota DPD pada Pemilihan Umum 2009 mendatang tanpa harus mengumpulkan dukungan minimal dari pemilih.

Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II) di Bogor, Senin (14/1) siang, membenarkan adanya kesepakatan bahwa anggota DPR bisa langsung ditetapkan menjadi calon anggota DPD pada pemilu berikutnya tanpa harus menyertakan syarat dukungan minimal. Syaratnya, daerah pemilihan anggota DPR bersangkutan masih termasuk dalam daerah pemilihan anggota DPD.

Kesepakatan bahwa anggota DPR bisa menjadi calon anggota DPD secara langsung itu selaras dengan kesepakatan bahwa anggota DPD periode 1999-2004 juga bisa langsung ditetapkan sebagai calon anggota DPD pada Pemilu 2009 nanti. Pengaturan tersebut merupakan respons terhadap usul dari DPD mengenai penerapan ambang batas (electoral threshold) bagi anggota DPD yang akan mencalonkan diri kembali.

Namun, anggota Panitia Khusus RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Lela Maryana Mukti (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan) menyebutkan, belum tercapai kesepakatan soal itu karena memang belum sepenuhnya disepakati dalam rapat panitia kerja. Bagi Lena, tidak mungkin tim perumus memutuskan lebih dari yang ditugaskan oleh panitia kerja.



sumber: www.kompas.com

Rabu, 16 Januari 2008

Calon Perseorangan Tak Bisa Dilaksanakan di Pemilu Tahun 2009 ini

Aturan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah diperkirakan tidak bisa dilaksanakan pada tahun ini. Hingga kini, pembahasan belum dimulai karena masih menunggu amanat Presiden.

Perkiraan tidak dapatnya aturan calon perseorangan pilkada dilaksanakan tahun ini disampaikan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti dan anggota Kelompok Kerja Koalisi untuk Penyempurnaan Paket UU Politik, Refli Harun, Jumat (11 jan 08).

Refli mengatakan, revisi terbatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mungkin baru akan rampung pada sekitar bulan Maret atau April. Setelah itu dibutuhkan masa peralihan untuk aturan pilkada. ”Mungkin Juni baru selesai. Padahal, saat itu pasti sudah banyak pilkada yang masuk ke tahap pencalonan sehingga calon perseorangan tidak bisa ikut,” kata dia.

Tahun ini akan berlangsung 130 pilkada di berbagai daerah. Jumlah itu termasuk pilkada tahun 2009 yang akan diselenggarakan Desember 2008 karena alasan adanya Pemilu 2009. Ada pemikiran memajukan penyelenggaraan pilkada 2009 pada bulan September 2008.

Ray mengatakan, saat ini suasana publik sudah tidak antusias lagi terhadap calon perseorangan karena mereka sudah jenuh menunggu. ”Situasi inilah yang dimanfaatkan pemerintah dan DPR untuk memperlambat penyelesaian revisi UU No 32/2004,” katanya.

Meski begitu, pemerintah dan DPR harus segera merampungkan aturan calon perseorangan yang merupakan putusan hukum Mahkamah Konstitusi. ”Bila tidak, maka pemerintah dan DPR melanggar hukum,” kata Ray Rangkuti.

DPR telah memberikan draf revisi terbatas UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pada bulan November 2007. Departemen Dalam Negeri telah menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). Tetapi hingga kini belum dibicarakan dalam rapat kabinet sehingga amanat Presiden (ampres) belum bisa turun.

”Kami sedang mencari waktu kapan DIM bisa dipaparkan kepada Presiden dan rapat kabinet. Setelah itu akan segera dibuat ampres,” kata Juru Bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang.

Mengenai besarnya dukungan calon perseorangan, Refli mengusulkan angka dukungan disamakan dengan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dikalikan empat.

Persyaratan dukungan untuk calon anggota DPD sesuai UU No 12/2003 adalah berkisar 1.000 sampai 5.000 pemilih. Untuk itu, Refli mengusulkan persyaratan calon perseorangan tingkat provinsi berkisar 4.000 sampai 20.000 orang calon pemilih.

”Saya kira syarat itu lebih realistis dan rasional. Syarat itu juga sudah ada legal ground-nya,” katanya. (SIE)


Kompas, 12 Januari 2008