Minggu, 29 Juni 2008

Pemerintah sejak Semula Ceroboh

Revisi PP Pemekaran Daerah Masih Sinkronisasi.

Maraknya pemekaran daerah otohom baru, yang akhirnya justru membebani keuangan negara, tak terlepas dari kecerobohan pemerintah sendiri sejak awal. Jika pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah sejak semula tegas pada standar yang dipakai untuk memekarkan daerah otonom, negara tak perlu menanggung beratnya beban keuangan.

Demikian diutarakan peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, di Jakarta, Jumat (24/8). Ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR dan DPD untuk menghentikan pemekaran daerah (Kompas, 24/8), dinilai tidak fair dan cuma upaya menimpakan kesalahan pemerintah dan lembaga negara kepada publik.

Pemekaran daerah seharusnya dilakukan dengan hati hati dan mematuhi syarat kualifikasi terbentuknya daerah otonom baru. Jika dalam evaluasi setelab dimekarkan dinilai tidak layak, pemerintah tidak perlu ragu untuk menggabungkannya kembali dengan daerah induk.

"Penghentian pemekaran daerah tak fair karena banyak calon daerah otonom yang benar, benar memiliki potensi ekonomi, sosial, dan politik kuat, tetapi belum sempat dimekarkan," kata Syarif.

Syarif mengusulkan pemekaran daerah tidak dilakukan secara langsung, tetapi bertahap seperti pada masa Orde Baru. Sebelum resmi menjadi daerah otonom, sebuah wilayah yang akan dimekarkan dari daerah induk dapat dijadikan pemerintahan administratif dahulu. Jika dalam rentang waktu tertentu dinilai berhasil, daerah itu dapat dimekarkan. Jika dinilai gagal, wilayah itu kembali ke daerah induk.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Tommi A Legowo, mengatakan, kemampuan pemerintah dalam menyediakan sumber daya dan instrumen untuk menverifikasi syarat pemekaran dan mengevaluasi kelayakan daerah pemekaran baru memang terbatas.

Selama ini, hasil verifikasi pemekaran daerah dan evaluasinya tak dipublikasikan terbuka. Akibatnya, pemekaran daerah lebih banyak ditentukan berdasarkan negosiasi politik antara pengusul dan pemerintah pusat.

Jika pemerintah tak lekas menetapkan standar jelas pemekaran daerah serta itikad kuat untuk mematuhi aturan yang ada, Tommi yakin anggaran negara makin berat akibat banyaknya daerah otonom baru yang menggantungkan keuangannya kepada pemerintah pusat.

Tahap sinkronisasi
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang, Jumat, menjelaskan, draf revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 yang mengatur tentang pemekaran masih dalam tahap sinkronisasi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). "Kira kira satu atau dua bulan lagi PP keluar," katanya.

Draf revisi PP No 129/2000 itu disusun Depdagri sejak dua tahun lalu. Namun, hingga kini drafnya masih dalam pembahasan. Di sisi lain, pembahasan pemekaran daerah tetap dilakukan DPR dan pemerintah.

Wakil Ketua Komisi 11 DPR Sayuti Asyathri dan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Mahfudz Siddiq, secara terpisah, Jumat, menyebutkan, komitmen pemerintahlah yang lebih menentukan pemekaran daerah.

Menurut Sayuti, selama ini pemerintah lamban mengevaluasi daerah otonom baru. Revisi PP juga macet sehingga DPR tak memiliki pilihan menyikapi usul pembentukan daerah otonom baru.

Tidak ada komentar: