Minggu, 29 Juni 2008

Menebar minyak di tangga-istana

Setelah melalui lobi alot, DPR akhirnya meloloskan hak angket tentang kenaikan harga BBM. Hak angket DPR ini adalah otopsi politik yang dilakukan DPR dengan menggunakan pisau bedah hukum atas suatu. kebijakan Presiden cq pemerintah.

Dalam otopsi ini, jika ditemukan penyakit di balik kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), DPR memiliki argumentasi kuat untuk penggunaan hak menyatakan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar konstitusi. Setuju atau tidak, fakta lolosnya angket adalah salah satu wujud aktualisasi DPR sebagai institusi wakil rakyat. Pasalnya, bagaimanapun, rakyat pasti bertanya mengapa Presiden mengambil langkah menaikkan harga BBM yang bertentangan dengan kontrak sosial kita.

Janji dan otoritas
Terkait dengan kebijakan menaikkan harga BBM , mungkin benar Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak pernah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM seperti polemik iklan Wiranto beberapa waktu lalu. Namun, dalarn analisis konstitusional, Presiden Yudhoyono saat pelantikan, di hadapan Sidang Paripurna MPR, telah bersumpah akan menjalankan konstitusi selurus lurusnya. Dalam analisis berikut, apakah Presiden memiliki otoritas penuh menaikkan harga BBM seperti di negara lain terkait dengan situasi pasar global migas. Hal ini tentu amat difobiakan pendiri negara saat menyusun kontrak sosial, UUD 1945.
Intinya, para pendiri negara memilih konsep negara kesejahteraan (welfare state), di mana negara tidak boleh disubordinasi totalitas oleh rezim pasar. Kemudian negara seolah takluk dan membiarkan pasar merangsek masuk dan mematikan nyala dapur kehidupan rakyat, membuat kehidupan rakyat morat marit.

Kontrak sosial kita amat mengharamkan hal itu. Yang dicita citakan adalah proteksi kekuasaan (negara) akan kehidupan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial.

Dasar konstitusi
Berbicara tentang kebijakan energi, pilar utamanya pada Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dua konsepsi penting negara kesejahteraan adalah "dikuasai negara" dan "untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat'. Konsep "dikuasai negara" bukan negara sebagai pengusaha atau regulator ataupun harga BBM tunduk pada harga pasar global atau sebaliknya.

Hal pertama dan utama adalah negara wajib menjadikan harga BBM domestik terjangkau oleh rakyat karena di sinilah letak konsepsi "sebesar besarnya kemakmuran rakyat". Andaikan harga BBM di pasar global tetap terjangkau, harga itu tidak haram untuk diterapkan sebagai harga domestik. Namun, jika harga itu tidak terjangkau, negara bertanggung jawab untuk menjadikannya terjangkau.

Artikulasi mudahnya, jika harga BBM di pasar global Rp 10.000 sedangkan rakyat hanya mampu membeli Rp. 5.000, selisih negatifnya (Rp 5.000) menjadi tanggung jawab negara. Atau, jika harga BBM di pasar global Rp 10.000 dan ternyata rakyat mampu membeli hingga Rp 12.000, Negara bisa menaikkan harga. BBM domestik menjadi Rp.11.000. Ini tidak masalah selama ada asumsi ekonomi konstitusional yang rasional dan akuntabel.

Di situlah muruah saat kontrak sosial kita berbeda dengan negara lain dan negara tetangga saat rakyat Indonesia memberi kuasa kepada negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk cabang produksi penting, untuk kemakmuran rakyat sebesar besarnya.

Di sinilah negara. diberi kuasa oleh rakyat melalui konstitusi. Maka, negara harus bertanggung jawab akan keterjangkauan, ketersediaan, ketahanan nasional, kemerataan, serta keadilan dari minyak dan gas bumi (migas) sehingga dapat dikonsumsi atau diproduksi optimal guna sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pada konteks ini, bisa dipahami bahwa menjadi presiden itu berat, berbeda dengan presiden negara lain yang tidak memiliki Pasal 33 pada konstitusinya.

Berdasarkan sistem ekonomi konstitusional ini, bisa dipahami mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 28 Ayat 2 UTJ No 22/2001 tentang Migas, harga BBM dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, bertentangan dengan UUD 1945. Dengan inkonstitusionaInya ketentuan ini, Presiden tidak dapat menggunakan logika pasar yang sehat dan wajar guna mengurangi beban keuangan negara dalam kebijakannya di sektor migas. Apalagi, harga sehat dan wajar dalam logika pasar belum tentu sehat dan terjangkau dalam logika rakyat.

Tanggung jawab sosial
Pertanyaan lebih lanjut, siapakah yang dimaksud "rakyat" dalam "sebesar besarnya kemakmuran rakyat"?

Tentu saja semua warga negara Indonesia, entah kaya atau miskin, gemuk atau kurus. Dengan definisi "rakyat" itu, secara linear MK pun menyatakan Pasal 28 Ayat 3 UU Migas, pelaksanaan kebijaksanaan harga migas tidak mengurangi tanggungjawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu, bertentangan dengan UUD 1945. Negara tidak hanya bertanggung jawab atas kasta rakyat tertentu, tetapi juga seluruh rakyat dalarn segala kastanya.

Karena itu, pemerintah tidak boleh berdalih bahwa subsidi harga BBM selama ini mengalami distorsi karena juga dinikmati orang kaya sehingga dialihkan ke rakyat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT). Khusus tentang BLT, ini adalah kewajiban konstitusional lain yang sudah terberikan melalui Pasal 34 UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara.

Karena itu, drama angket ini bisa jadi akan menebar minyak di tangga istana, terlepas apa motif politik di baliknya, tetapi vang utama kembali ke konstitusi.

A. IRMANPUTRA SIDIN
Mantan Koordinator Staf Ahli
Mahkamah Konstitusi


Tidak ada komentar: