Senin, 13 Oktober 2008

Pemimpin-pemimpin Muda

Akhir-akhir ini bangkit keinginan atau gerakan kaum muda untuk menduduki jabatan-jabatan negara, menggantikan politisi tua yang selama ini dinilai tak becus memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Niat ini baik, tetapi perlu beberapa catatan.

Kekacaubalauan pemerintahan birokrasi modern Indonesia selama ini--yang mengakibatkan kelakuan korup di mana-mana--tak dapat dipahami tanpa menelusur genealoginya.

Asal mula kemodernan bukan dari niat kita sendiri, tetapi dari kolonialisme Belanda. Kalau Belanda tidak menjajah Indonesia, negara ini masih dikuasai raja-raja dengan sistem feodalnya. Belanda yang memakan kita untuk menjadi modern karena pemerintahan birokrasi mereka memang modern.

Pada zaman kolonial, terutama sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda membentuk negara birokrasi yang nonpolitik. Pemerintah kolonial tidak didasari oleh kepentingan partai politik tertentu dari pihak Belanda. Pemerintahan kolonial ini murni dari melayani keinginan partai-partai politik.

Dualisme pemerintahan
Negara Hindia-Belanda menganut dualisme pemerintahan. Pemerintahan inti adalah golongan Belanda yang menduduki jabatan puncak, yakni gubernur jenderal, sampai gubernur-gubernur dan residen. Sementara para residen mendampingi pemerintahan tingkat kedua yang terdiri dari para raja, bupati, wedana. Pemerintahan tingkat dua ini tidak modern birokratik, tetapi tradisional-feodalistik, bahkan bersifat adat.

Selama masa kolonial tak ada orang Indonesia yang dapat menduduki jabatan kolonial, sekurang-kurangnya residen, apalagi menjadi gubernur. Orang-orang Indonesia selama ini tidak punya pengalaman dalam tata kerja sistem birokrasi modern pemerintahan. Mereka hanya mengenal tata pemerintahan "tradisional" sejak dahulu kala.

Jadi, setelah kemerdekaan, para pejabat negara Indonesia yang baru. Ini sama sekali tidak punya pengalaman dalam birokrasi pemerintahan modern. Pengalaman mereka adalah pemerintahan Indonesia lama yang patrimonial, primordial, feodal. Pejabat adalah segalanya. Jabatan adalah kekuasaan itu sendiri, yakni negara itu sendiri.

Apa pun boleh dilakukan karena pemerintahan adalah miliknya. Keadaan tidak berpengalaman modern ini lebih diperparah lagi dengan munculnya berbagai gerakan nasional. Tentu saja semua gerakan nasional ini baik dan positif karena tujuan utamanya bebas dari pemerintahan kolonial. Tetapi, gerakan-gerakan ini sejak awal menganut berbagai ideologi yang saling bertentangan. Tak pernah ada persatuan ideology politik yang sesungguhnya sampai sekarang.

Tujuan gerakan-gerakan nasional ini jelas, yakni mengusir pemerintahan birokrasi kolonial dan membentuk pemerintahan dan negara Indonesia secara politis. Jadi, negara politik menggantikan negara nonpolitik (apolitik).

Salah urus negara
Sekarang ini ada dua macam "penyakit" bangsa, yakni system pemerintahan setengah patrimonial-tradisional dan setengah modern. Ini karena kita tak pernah memiliki pengalaman birokrasi modern tingkat residen, gubernur, dan gubernur jenderal kolonial. Kedua, kita membentuk negara partai bukan negara apolitik, negara yang mengatasi partai-partai.

Sistem birokrasi serba tanggung inilah yang mengakibatkan kita salah urus negara. Kita semua sebenarnya manusia banci. Bukan lelaki atau perempuan tulen. Tugas pemimpin muda sekarang adalah menjadi lelaki tulen itu. Menjadi birokrat modern seratus persen tanpa bias patrimonial dan kepartaian.

Menilik usia mereka di bawah 50 tahun (mengikuti Obama dan Kennedy), kelahiran mereka tahun 1960-an, saat Orde Baru mulai berkuasa.

Dekonstruksi besar-besaran
Pengalaman pada sistem pemerintahan yang tanggung ini adalah musuh utama mereka. Orang-orang ini harus tidak teracuni oleh alam pikiran kaum tua yang genealoginya kolonial. Kaum muda ini harus benar-benar pascakolonial, yang paham betul makna birokrasi pemerintahan modern yang murni. Pertama-tama mereka harus mampu menciptakan sebuah sistem baru yang bebas dari sistem gado-gado selama ini.

Tugas mereka berat, yakni dekonstruksi besar-besaran. Pemerintahan mereka harus bersih dari alam pikiran tua yang kini masih dominan. Banyak veteran kolonial yang hingga kini masih hidup. Pikiran dan sikap tanggung kebencian harus diganti. Karena mereka juga produk dari alam pikiran kacau itu dan sama sekali belum memiliki pengalaman birokrasi modern yang sesungguhnya (kecuali yang bekerja di perusahaan asing), pembelajaran dan pelatihan sistem birokrasi modern harus disiapkan. Mengubah budaya tidak semudah membalik telapak tangan, main simsalabim.

Pembongkaran cara berpikir sistemik ini tidak boleh jatuh ke zonesentrisme, kebiasaan adopsi cara berpikir asing tanpa kompromi. Indonesia memiliki historistasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa dan negara lain yang sudah maju. Kebiasaan asal meniru ini juga bawaan kolonial, karena kita warga kelas dua, semua yang berasal dari warga kelas satu kolonial kita puja dan kita tiru.

Menguasai data empiris Indonesia adalah titik tolak pembongkaran. Kita baru mampu membangun yang baru jika menguasai apa yang akan kita bongkar. Kemampuan semacam ini rata-rata sudah ditinggalkan bangsa Indonesia.

Banyak yang harus dipelajari selain niat baik saja.



Jakob Sumardjo Esais